Pendahuluan
Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan tenaga listrik yang makin meningkat ini antara lain diperoleh dari usaha diversifikasi berbagai macam sumber energi yang dapat diperoleh di Indonesia. Salah satu diversifikasi energi yang dilakukan adalah pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar untuk memperoleh tenaga listrik.
Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar batubara secara besar-besaran telah dibangun di Suralaya (Jawa Barat) dan di Paiton (Jawa Timur). Dalam waktu dekat ini juga akan dibangun PLTU batubara di daerah Ujung Jati (Jawa Tengah) yang diharapkan akan dapat mencukupi keperluan tenaga listrik bagi kegiatan industri yang terus meningkat. Pemakaian batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik memang dapat menghasilkan tenaga listrik dengan biaya yang relatif murah, namun dampak pencemaran yang ditimbulkan oleh pembakaran batubara perlu kiranya mendapat perhatian yang seksama, agar pembangunan berwawasan lingkungan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Gagasan \x{201C}clean coal combustion\x{201D} perlu didukung sepenuhnya.
Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa pemakaian batubara sebagai bahan bakar dapat menimbulkan polutan yang mencemari udara berupa CO (karbon monoksida), NOx (oksida-oksida nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang), HC (senyawa-senyawa karbon), fly ash (partikel debu). Polutan-polutan tersebut secara umum dapat menimbulkan hujan asam yang dapat merusak hutan dan lahan pertanian, serta dapat pula menimbulkan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan kenaikan suhu global di permukaan bumi dengan segala efek sampingannya. Sebenarnya selain dari dampak pencemaran lingkungan seperti tersebut di atas, ada juga dampak pencemaran dari hasil pembakaran batubara bersama-sama dengan polutan konvensional yang selama ini sudah diketahui lebih dulu. Sebagaimana halnya polutan konvensional yang ke luar dari batubara, polutan radioaktifpun dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup oleh paru-paru, maupun melalui rantai makanan yang telah terkontaminasi oleh polutan radioaktif. Polutan radioaktif yang terakumulasi di dalam tubuh dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan gangguan kesehatan, terutama karena sifat polutan radioaktif yang pada umumnya adalah cocarcinogenik atau perangsang timbulnya kanker. Jadi secara jujur dapat dikatakan bahwa pemakaian batubara juga dapat menaikkan kontribusi zat radioaktif di lingkungan, bukan hanya dari kegiatan-kegiatan teknologi nuklir saja.
Meningkatnya Pemakaian Batubara
Pemakaian batubara di seluruh dunia terus meningkat, begitu juga dengan pemakaian batubara di Indonesia. Meningkatnya pemakaian batubara kiranya tidak terlepas dari meningkatnya kebutuhan tenaga listrik yang sangat diperlukan untuk berbagai kegiatan industri. Seperti diketahui bahwa akibat dari pembangunan yang pesat dalam bidang industri, maka laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia selama PELITA V telah meningkat menjadi 17,5 er tahun, melebihi angka yang direncanakan yaitu 14,6 er tahun. Laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia ternyata di atas angka rata-rata di Asia yang hanya sekitar 7,9 er tahun dan jauh di atas angka rata-rata pertumbuhan konsumsi listrik dunia yang hanya sekitar 3,6 er tahun.
Untuk mencukupi kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat dari tahun ke tahun, Indonesia menempuh kebijaksanaan menggalakkan pemakaian batubara sebagai salah satu diversifikasi energi yang mungkin terdapat di Indonesia. Produksi batubara selama ini terus meningkat, terutama sekali sesudah ada himbauan dari Presiden RI pada tahun 1976 untuk menggunakan batubara sebagai prioritas utama dalam pembangkitan tenaga listrik oleh PLTU dan juga sebagai bahan bakar utama untuk industri berat seperti industri baja dan semen. Peningkatan produksi batubara yang terus meningkat dapat dilihat dari data yang diperoleh dari Departemen Pertambangan dan Energi (Tabel 1).
Produksi batubara di Indonesia tahun 1973/1974-1990/1991 (dalam ribu ton)
Tabel 1
Tahun 1973/1974 Tahun 1983/1984 tahun 1990/1991
145,8 614,7 11.211,6
Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik kiranya akan terus bertahan, mengingat bahwa perkiraan cadangan sumber daya batubara di Indonesia adalah sekitar 36,3 miliar ton yang tersebar di Sumatera 24,7 miliar ton dan di Kalimantan sekitar 11,6 miliar ton. Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik memang benar telah meningkatkan produksi tenaga listrik di Indonesia. Hal ini tercermin dari kenaikan produksi maupun daya terpasang tenaga listrik di Indonesia (data diperoleh dari Perusahaan Listrik Negara (PLN)) seperti pada Tabel 2.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan Tabel 2 tersebut di muka, tampak jelas bahwa pemakaian batubara sebagai penyedia tenaga listrik di Indonesia memang benar meningkat dan hal ini sudah barang tentu menjadi pemikiran kita bersama mengenai kemungkinan dampaknya terhadap lingkungan, baik yang berasal dari polutan konvensional akibat pembakaran batubara maupun polutan radioaktif yang juga ke luar terhambur bersama-sama dengan polutan konvensional.
Polutan Radioaktif
Polutan konvensional dari hasil pembakaran batubara yang selama ini diketahui oleh masyarakat adalah gas-gas berupa CO (karbon monoksida), NOx (oksida-oksida nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang) dan juga partikel-partikel yang terhambur ke udara sebagai bahan pencemar udara. Partikel-partikel tersebut antara lain adalah:
a. Karbon dalam bentuk abu atau fly ash (C)
b. Debu-debu silika (SiO2)
c. Debu-debu alumia (Al2O3)
d. Oksida-oksida besi (Fe2O3 atau Fe3O4)
Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan, selain timbulnya hujan asam maupun efek rumah kaca yang disebabkan oleh gas-gas hasil pembakaran batubara seperti tersebut di atas.
Produksi tenaga listrik dan daya terpasang di indonesia tahun 1968-1991
Tabel 2
Tahun
Produksi
(Ribu KWH) Daya Terpasang
(Ribu KWH)
1968/1969
1973/1974
1978/1979
1983/1984
1988/1989
1990/1991 1.780
3.006
5.723
13.392
25.623
34.684 662
776
2.289
3.935
8.529
9.261
Penelitihan lebih jauh mengenai dampak pemakaian batubara ternyata sangat menarik, karena selain mengeluarkan gas-gas maupun partikel-partikel seperti telah diuraikan di atas, ternyata juga dari hasil cracking akibat pembakaran batubara juga dilepaskan partikel-partikel radioaktif. Hal ini terjadi karena batubara juga mengandung unsur radioaktivitas alam yang terjebak dalam batubara, kemudian pada saat pembakaran terjadi cracking (pembelahan) yang menyebabkan unsur radioaktivitas alam tersebut akan ikut ke luar bersama-sama dengan gas emisi lainnya. Mengapa unsur radioaktif terjebak di dalam batubara, tidak lain karena unsur radioaktif lebih dulu terbentuk di bumi ini dibandingkan dengan terbentuknya batubara. Menurut para ahli radiogeologi, unsur radioaktif seperti batuan Uranium terbentuk pada zaman geologi yang disebut Pra Kambrium yang terjadi pada 3900 juta tahun yang lalu, sedangkan batubara terbentuk jauh sesudah zaman Pra Kambrium, yaitu pada zaman Devon yang terjadi pada 405 juta tahun yang lalu, kemudian diikuti terbentuknya batubara pada zaman Missisipan yang terjadi pada 345 juta tahun yang lalu, kemudian dikuti lagi terbentuknya batubara pada zaman Pensilvanian sekitar 320 juta tahun yang lalu. Batubara masih terus terbentuk lagi pada zaman Triasik sekitar 230 juta tahun yang lalu, dan masih terbentuk lagi pada zaman Jurasik sekitar 180 juta tahun yang lalu, juga masih terbentuk batubara pada zaman Kretasius sekitar 135 juta tahun yang lalu, bahkan batubara muda juga masih terbentuk pada zaman Tersier sekitar 63 juta tahun yang lalu. Batubara yang terbentuk jauh sesudah terjadinya unsur radioaktif di bumi ini, akan menangkap dan menjebak unsur radioaktif yang sudah terbentuk lebih dulu. Unsur radioaktif yang terjebak di dalam batubara tersebut akan ke luar pada saat terjadi pembelahan (cracking) akibat pembakaran batubara.